Senyuman Manis Itu
Namaku Alanna Azzahra, biasa dipanggil
Lanna. Umurku 16 tahun. Sekarang aku duduk dikelas 11 SMA N 12 Jakarta. Aku
anak keempat dari empat bersaudara. Semua saudaraku sudah mempunyai keluarga
sendiri, hanya aku yang masih menjadi tanggungan kedua orangtuaku. Hobiku
menulis, membaca buku, dan mendengarkan musik. Aku sangat mencintai dunia
sastra, aku seringkali memanfaatkan social
media untuk mem-posting hasil
tulisan-tulisanku. Misalnya pada bloggerku atau catatan di facebook. Entah darimana aku bisa mencintai dunia sastra. Selain
mencintai dunia sastra, aku juga sangat mencintai kedua orang tuaku.
Ya, Ayah dan Ibuku yang sangat
menyayangiku, terutama Ibu. Bagiku, ibuku adalah segalanya untukku. Meskipun
aku lebih dekat dengan ibu, aku juga sering bercanda dengan ayah. Iya, ayahku
yang super galak kalau sedang marah. Dulu ketika aku masih kecil, aku sering
menangis, ketika ayahku berbicara dengan suara keras, aku pasti langsung lari,
berlindung dibelakang ibuku. Tapi, sekarang aku tahu, ayahku seperti itu karena
ia ingin aku menjadi pribadi yang lebih baik, ayahku juga mengajarkanku
kedisiplinan, sehingga sampai aku SMA aku paling takut terlambat masuk kelas. Kedekatanku
dengan ibu tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata deh. Karena aku dan ibuku seperti aku dengan kakakku, walaupun usia
ibu dengan aku terpaut sangat jauh. Meskipun aku dekat dengan ibu, sampai
sekarang aku tidak pernah curhat atau
sharing tentang cinta. Aku sangat tertutup kepada ibuku, jika membahas
tentang masalah asmara. Aku lebih terbuka dengan kakak perempuanku. Tapi, lebih
sering menuliskan semua curhatanku dibuku diary
kesayanganku. Walaupun aku sangat tertutup dengan ibu, jika membahas tentang
cinta, aku lebih dekat dengan ibuku daripada dengan ayahku.
Setiap pagi seperti biasa setelah
aku melaksanakan sholat shubuh, pasti ibu sudah menyiapkan sarapan untukku. Aku
diwajibkan untuk sarapan oleh ibuku, karena kata ibuku sarapan itu penting
untuk energi. Ibu sangat hafal dengan menu sarapanku. Memang untuk sarapan aku
terkadang tidak suka dengan rasa-rasa tertentu. Aneh memang. Namun, itulah aku
dan ibuku pun mengerti kebiasaanku. Setelah mandi dan sarapan aku bersiap-siap
untuk berangkat sekolah. Sebelum berangkat, aku sejak kecil diajarkan untuk berpamitan
kepada kedua orangtuaku. Ketika aku menjabat tangan ibuku, ibuku selalu berkata
“Gampangkan urusannya ya Allah, agar ia menjadi orang yang bertakwa”. Itulah
doa yang membuatku lebih semangat untuk menjalani hariku. Ketika aku pulang
terlambat, dan aku lupa berpamitan dengan ibuku, ibuku selalu meneleponku atau
mengirim pesan padaku dan bertanya “Kenapa belum pulang?” aku selalu merasa
bersalah jika aku lupa berpamitan kepada ibuku. Pesan singkat dan telepon dari
ibuku itulah yang membuatku sangat mencintai dan menyayangi ibuku, karena
disaat teman-temanku dengan bebas bisa keluar kesana kemari tanpa berpamitan
dengan orang tuanya, aku malah sangat ingin dikirimi pesan singkat oleh ibuku.
Karena bagiku pesan singkat itu merupakan tanda perhatian dan kekhawatiran ibuku.
Sehingga aku tahu, bahwa ibuku sangat menyayangiku, dan ibu tidak mau terjadi
apa-apa denganku.
Saat aku sampai dirumah, ibu
langsung menegurku “Kamu sudah makan nak? Ibu hari ini masak masakan kesukaan
kamu lho”. Senang rasanya, ketika
rasa penatku hilang karena perhatian dan senyuman manis ibuku. “Belum bu, nanti
dulu bu, Lanna mau ganti pakaian dulu.” Jawabku dengan membalas senyuman ibuku.
“Ya sudah, sambil kamu ganti pakaian, ibu akan mengambilkan makan siang
untukmu.” Kata ibu. “Wah, terimakasih ibu.” Balasku dengan senyuman. Setelah
selesai mengganti seragam sekolah dengan pakaian yang biasa dipakai dirumah,
aku langsung ke meja makan, ternyata ibuku sudah menunggu dengan sepiring nasi,
lengkap dengan lauk pauk yang disiapkannya untukku. Bahagianya aku, melihat
senyuman manis itu, sambil ku lahap makan siangku. Selesai makan, aku terbiasa
untuk mencuci piring kotorku.
“Allahu
akbar… Allahu akbar…” tak terasa adzan Ashar pun tiba, aku dan ibu langsung
mengambil air wudhu untuk
melaksanakan sholat berjamaah di Masjid. Setelah pulang dari Masjid, aku
langsung membersihkan rumah. Sedangkan ibuku, merawat tanaman-tanamannya yang
sangat ia sayangi. Ya, ibuku adalah seorang pecinta tanaman hias, dari bunga,
daun, sampai tanaman yang bisa dimanfaatkan, seperti cabai dan tomat.
Terkadang, jika aku sudah selesai membersihkan rumah, aku membantu ibuku untuk
menyiram tanaman-tanaman itu. Senang sekali, jika setiap hari bisa melihat
hijaunya daun, dan bisa menghirup udara sejuk.
Senja pun tiba, langit yang berwarna
biru, pelan-pelan berganti warna menjadi oranye. Indah sekali, ditambah dengan
melihat senyuman manis ibu, yang sedang membereskan peralatan bercocok
tanamnya. Peluh yang menetes dari dahinya tak mengurangi manisnya senyuman ibu.
Rasanya sangat damai dunia ini, jika setiap hari melihat senyuman semanis itu.
Warna langit pelan-pelan menjadi gelap, menandakan waktunya sholat maghrib, aku
dan ibuku langsung mengambil air wudhu dan menunaikan sholat berjamaah. Setelah
sholat, seperti biasa aku dan ibuku tadarus Al-Qur’an. Ibuku pernah berkata
padaku “Al-Qur-an itu nantinya sebagai cahaya di alam kubur, makanya selalu
dibaca ya.” Dan aku tidak akan pernah melupakan nasihatnya itu. Malam semakin
larut, setelah menunaikan sholat Isya’, aku langsung belajar. Ketika sudah
selesai, apalagi jika sudah jam 9 ibuku langsung menyuruhku untuk tidur, agar
besok tidak kesiangan.
Suatu pagi, aku yang hendak
mengambil air wudhu untuk sholat Shubuh, mendengar ibuku meminta tolong.
Ternyata ibuku tidak bisa bangun setelah sholat. Kakinya tiba-tiba menjadi
kaku. Senyuman yang biasa ia berikan kepadaku, kini berubah menjadi kesedihan,
airmatanya satu persatu berjatuhan. Aku tidak tega melihat ibu seperti itu, aku
bantu dengan sekuat tenagaku agar ibu bisa bangun, lalu aku bantu ibu untuk
berjalan kekamarnya. Aku tinggalkan ibuku yang masih sedih itu untuk menunaikan
sholat Shubuh. Setelah selesai, aku buatkan teh hangat untuk ibuku, agar
sedikit tenang. Pelan-pelan ibuku pun terlelap dengan airmatanya yang masih
mengalir dipipinya yang sedikit keriput itu.
Sejak kejadian pagi itu, aku selalu
membantunya dalam segala hal. Terutama jika aku sedang libur sekolah, aku
menggantikan semua pekerjaan ibuku, agar ibuku bisa istirahat. Dari sinilah aku
belajar, bagaimana menjadi sosok seorang ibu. Lelah, penat, lesu, campur aduk
menjadi satu. Aku juga baru sadar bagaimana lelahnya menjalankan semua
aktivitas ibu. Ternyata selama ini, tubuh renta ibu melaksanakan semua
pekerjaannya tanpa mengeluh. Sedangkan aku? Yang tubuhnya masih kuat, baru
sebentar saja aku sudah mengeluh lelah, penat, dan sebagainya.
Semenjak kejadian waktu itu, setiap
tengah malam, aku selalu mendengar ibu menangis, setelah sholat Tahajud. Aku
tidak tega mendengar tangisan itu. Aku sangat merindukan senyuman manisnya.
Samar, aku dengar di sela-sela tangisnya, ibu berdoa “Ya Allah, jagalah
anak-anakku, lindungilah mereka dari mara bahaya, tunjukkan jalan yang benar
agar mereka selalu berada didekat-MU ya Allah, berikanlah kemudahan untuk
anak-anakku dalam mencapai kesuksesannya”. Ahh
Ibu… lagi-lagi kau membuat airmataku mengalir dengan doa-doa tulusmu itu.
Aku merindukan senyuman manismu ibu. Kini aku tahu, sebenarnya dibalik senyuman
manismu itu, Ibu menyembunyikan segala keluhan, kesedihan, kepenatannya. Ibu tak
ingin semua anaknya tahu bahwa ia sebenarnya sedang merasakan sakit. Ibu tak
ingin Ayah tahu bahwa ia sedang bersedih. Ahh
ibu… betapa hebatnya engkau ibu. Engkau bisa setegar ini. Sedangkan aku?
Untuk menyembunyikan keluhan saja tidak bisa. Ibu, aku ingin menjadi sepertimu.
Ibu, kau lah segalanya bagiku.
Komentar
Posting Komentar